Entah dimana, pernah kubaca semacam percakapan Bung Karno dengan seorang anak kecil. Kureka ulang percakapan itu dengan kata-kataku sendiri.

 

"Nak", sapa Bung Karno pada seorang anak Indonesia, "Hayo, duduk disini, disebelah Bapak. Bapak punya cerita".

Si anak langsung beringsut, mendekati Bapak sambil menampakkan wajah penasaran. "Cerita apa, Pak?"

"Dulu, dunia ini dihuni oleh raksasa-raksasa. Ya, raksasa!" Bung Karno memulai ceritanya. Reaksi si anak yang tadi penasaran langsung berubah kecut.

"Oh! Aku kira cerita serius... raksasa... ada-ada aja Bapak ini".

"Serius ini Nak, benar-benar raksasa!" tangkis Bung Karno sambil tersenyum jenaka. "Sekarang dengar ceritaku, dan kau akan terpukau".

* * *

Sampai detik itu, aku juga mengerutkan dahi. Persis anak kecil diatas. Aku kira Putra Sang Fajar akan menceritakan filosofi Pancasila, perjuangan rakyat-rakyat Asia Afrika, atau kisah nyata heroik lainnya. "Cerita Raksasa"? Hah... cuma cerita dongeng.

Tapi, ternyata aku salah kira. Salah besar!

* * *

undefined

 

"Dulu, Nak, raksasa-raksasa itu benar-benar ada di dunia. Mereka berjalan seperti kita, di atas tanah yang sama kita pijak, tapi mereka bukan manusia biasa. Mereka raksasa!"

Bung Karno berhenti sejenak, melihat reaksi si anak yang masih kebingungan, lalu ia melanjutkan, "Raksasa itu ada yang bernama Napoleon, raksasa itu ada juga yang bernama George Washington, Jefferson, Karl Marx, Lennin, ada pula yang namanya Hitler, dan banyak lagi raksasa-raksasa gagah berani lain!"

"Mereka bukan raksasa, Pak!" sergah si anak, emosi. "Mereka manusia biasa. Bahkan Napoleon badannya kecil, jauh dari raksasa. Sampai-sampai dipanggil Le Petit Corporal, si Kopral Kerdil!"

Kali ini Bung Karno tersenyum lagi, "Heh Nak... kuno sekali caramu memandang dunia. Sampai kapan manusia terobsesi pada ukuran terus? Ukuran tak pernah jadi patokan, camkan itu. Gandhi-pun disebut sebagai orang besar, tapi badannya kecil sahaja, bukan? Jadi apa yang membuatnya disebut orang besar?"

Mata si anak mendongak, menunggu jawaban...

"Tidak lain tidak bukan, adalah pemikirannya. Ideologinya. Dulu dunia seru dan berwarna karena para raksasa. Raksasa dalam pemikiran dan pendirian. Raksasa ideologi yang membuat dunia jadi berwarna-warni, jadi bergelora!" tukas Bung Karno.

undefined

 

"Ah... aku tahu yang kau pikirkan," sergah Bung Karno saat melihat air muka sang anak hendak menyela. "Ya, ya... banyak yang bilang mereka penjahat, orang kejam, bahkan orang gila. Jangan pernah percaya sepenuhnya pada sejarah, Nak, karena sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Contoh mudah saja, bila Indonesia tak merdeka dan masih dijajah Belanda, aku yakin kau akan diberitahu lewat buku-buku sekolahmu bahwa aku adalah seorang pemberontak, seorang bandit celaka!"

"Ah, aku rindu dunia yang dulu..." kata Bung Karno, menerawang, "George Washington membawa angin baru menampar imperialisme Inggris dengan Declaration of Independence. Karl Marx melahirkan ideologi baru demi nasib kaum buruh di Eropa. Hitler, Napoleon, semua orang kecil yang mampu memukau jutaan rakyat mereka. Tak masuk akal bila mereka jahat sempurna, sementara mereka berdiri di depan jutaan rakyat yang mendukung dengan berapi-api".

undefined"Merekalah raksasa-raksasa yang tidak sekadar numpang hidup di dunia. Mereka ikut memelintir, memeras, membentuk dunia yang mereka hidupi itu! Berusaha mewujudkan cita-cita pemikiran, menularkan gagasan dan ide-ide baru pada dunia. Mereka raksasa-raksasa yang sangat hebat!"

"Bagaimana dengan duniamu, Nak? Masihkah ada raksasa di sana? Masih adakah orang berhati seluas dan sekeras samudera yang semangatnya memukul-mukul dunia?"

* * *

 

Aku mendadak teringat pada kata-kata ayahku di rumah dulu. Saat itu aku libur dari kuliah di Jakarta, dan kami duduk selonjoran di teras sambil melihat matahari tenggelam di sudut kabupaten Jembrana yang sepi.

Kutanya dia, "Ji, dulu, inget nggak pas Aji mengkritik togel yang marak di Jembrana lewat surat pembaca Balipost? Sampai pas aku pulang dari sekolah, aku lihat Aji lagi diinterogasi tiga intel di rumah, sambil nunjuk-nunjuk aku".

"Ingat lah..." kata Aji sambil nyengir. "Besoknya dipanggil ke kantor polisi buat diintrogasi lagi. Tiga jam, haha!"

Kutanyai dia lagi, "ngobrolin apa aja di sana?"

Aji ku tersenyum. Sambil senyum itu, Beliau bercerita, "Intelnya bilang gini, bapak sadar nggak kalau bapak ini membuat banyak orang tidak nyaman karena "pemasukannya" terganggu? Aji langsung aja tunjuk kamu yang lewat pulang dari sekolah itu, sambil bilang gini. Pak, saya selalu suruh anak saya itu baca Vivekananda, buku yang Soekarno baca ketika di penjara. Saya suruh dia ingat kalimat di bab I halaman 3 yang digarisbawahi sendiri oleh Bung Karno: katakanlah hanya kebenaran walaupun sedang ada ujung pedang terhunus di lehermu".

Aku manggut-manggut, dan Aji melanjutkan, "Camkan baik-baik ini, De, ini kata Zainnuddin MZ. Saat kita mati nanti, Tuhan akan bertanya, "apa yang sudah kau lakukan?", dan bukannya "apa yang kau lakukan berhasil atau tidak?" Bisa bedakan? Pegang prinsip, punyai hati raksasa walau badan kecil..."

 

(ditulis sambil berfikir....
"cerita ini butuh sekuel... ")