Bali. Apa yang dipikirkan orang ketika mendengar ‘Bali’? Deburan ombak di pantai dengan sunset yang menawan? Semilir angin yang berhembus di sawah yang berundag? Yap! Mungkin itu (sempat) benar. Tersohor dengan keagungan stage and street culture-nya, kearifan lokal, dan pesona alam sontak membuat Bali meroket ke mancanegara. Tak ada yang mampu menepis bahkan menduakan keelokan Bali ini. Semua orang diuntungkan, mulai dari orang lokal hingga mancanegara juga turut ambil bagian di sini.
Beberapa waktu lalu saya membuka-buka surat kabar minggu-minggu terakhir, alih-alih menemukan wacana tentang keindahan pariwisata, yang saya temukan justru berbagai permasalahan pariwisata di Bali. Hampir seluruh topik tersebut memberitakan mengenai masalah alam dan perkembangan pariwisata di Bali. Kritikan mengenai membludaknya sampah yang membuat keberlangsungan pariwisata menjadi tidak nyaman, pencemaran lingkungan dan belum lagi masalah berkurangnya lahan hijau yang tergantikan oleh ruang terbangun (built up area). Dalam pemberitaan banyak pihak yang terekam unjuk suara dengan berbagai motif. Entah yang memang sekadar berkomentar, menyelipkan ‘bumbu-bumbu’ dalam wacananya, atau yang memang serius menghadapi permasalahan ini.
(Sumber : thedevelopmentadvisor.com/tda/wp-content/uploads/2013/12/Resort-land-not-for-sale.jpg)
Menipisnya lahan hijau atau yang biasa disebut Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Bali sempat membuat saya cukup tertarik untuk ikut masuk ke pusaran permasalahan tersebut. Dewasa ini, hampir seluruh media gencar memberitakan mengenai masalah pada manusia dan alam Bali ini. Manusia yang ‘katanya’ disebut sangat serakah membabibutakan alam Bali dengan satu tujuan keberlansungan pariwisata. Ya, inilah realita yang sedang kita hadapi. Pariwisata adalah main goal di Bali. Semua hal dilakukan untuk tetap menjadikan Bali sebagai daerah pariwisata yang tidak akan pernah dan bisa untuk diduakan. Seiring dengan gencarnya berbagai komentar miring terkait masalah ini di sejumlah media, para tokoh masyarakat dan elite pemerintah juga tak kalah gencarnya memikirkan berbagai solusi yang sekiranya mampu untuk mengatasi masalah berkurangnya lahan hijau di Bali ini. UU dan berbagai varian kebijakan diupayakan, dengan harapan agar konflik alam dan pariwisata ini dapat teratasi.
Tapi, cobalah kita merenung dan mengingat kembali. Keindahan dan keunikan alam yang kita nikmati sekarang ini merupakan buah manis dari usaha pelestarian yang dilakukan leluhur kita, bukan? Lalu? Iya, mengapa kita tidak menerapkan kembali kearifan lokal tersebut di masa ini?Leluhur kita sejatinya telah mewariskan beragam kearifan lokal yang apabila kita jeli terhadapnya kita bisa menerapkan dengan menyesuaikan kearifan lokal tersebut di kehidupan sekarang. Telajakan misalnya.
Saya yakin banyak diantara Anda yang sedang membaca tulisan ini masih awam, sempat tau atau bahkan tidak pernah tau terkait telajakan ini. Telajakan sendiri adalah sepenggal atau sebagian jalan raya atau jalan kampung yang ada di depan atau samping pekarangan rumah, termasuk jalannya sendiri, got beserta senderan dan lain-lainnya (Kaler : 1982:16). Telajakan biasanya ditanami berbagai pepohonan atau rerumputan yang memiliki fungsi ganda. Selain mampu menyediakan lahan hijau, telajakan juga mampu menciptakan keindahan serta keasrian daerah tersebut. Saya rasa telajakan adalah hal kecil yang mungkin terlupakan atau tak terhiraukan yang justru sebenarnya bisa diandalkan dalam mengatasi permasalahan keterbatasan lahan hijau di Bali. Permasalahah ketersediaan lahan hijau di Bali saya rasa adalah masalah baru. Ya, masalah yang ‘baru mencuat’ setelah sekian lama tertimbun dan sekarang menjadi berkelanjutan.
Setiap wilayah memiliki kekhasan atau karakteristiknya sendiri. Terlebih Bali yang notabene daerah dengan segudang karakter yang menjiwai pulau kecil ini. Telajakan sebagai salah satu kearifan lokal yang menjadi karakter daerah seharusnya mampu kita maksimalkan untuk mencegah hilangnya lahan hijau akibat amukan tangan-tangan jahat yang hanya ingin mengeruk untung di tanah kelahiran ini. Sebenarnya potensi ini dapat kita manfaatkan untuk membangun lingkungan yang lebih berjati diri dan berkarakter di tengah kegamangan pemanfaatan lahan yang semakin kabur arahnya. Lahan ini adalah lahan kita, milik masyarakat maka akan lebih mudah ketika solusi dari permasalahan ini dilakukan dengan pendekatan ke masyarakat sendiri. Namun, fakta di lapangan sekarang berkata lain. Minim sekali kita temukan telajakan di depan bangunan perumahan masyarakat Bali. “Tak seperti dulu”. Yap! Mungkin frasa kata itu tepat untuk menggambarkan hilangnya jati diri konsep tata ruang di Bali yang mulai melupakan porsinya untuk lahan hijau. Cobalah tengok daerah Penglipuran di Bangli. Penulis bukanlah seorang dari daerah tersebut, namun keberaturan, keindahan, dan keasrian yang mampu disajikan oleh tiap-tiap taman telajakan di tiap rumah di sana mampu menghinoptis dan menimbulkan decak kagum dalam benak kita yang patut kita contoh. Dampak ikutan dari keindahan alam itu pun turut dirasakan pelaku pariwisata.
(Sumber : http://www.pegipegi.com/travel/wp-content/uploads/2014/06/desa-penglipuran-bali.jpg)
Sayang sekali memang belakangan ini banyak masyarakat Bali yang tidak tahu mengenai filosofi dari keberadaan telajakan ini. Banyak masyarakat yang membiarkan telajakannya tidak terawat ditumbuhi semak belukar, bahkan ironisnya beberapa masyarakat bahkan menyewakan atau mengontrakkan telajakan mereka. Hal ini saya saksikan langsung di salah satu daerah di Bali, di mana pada areal telajakannya terpampang sebuah spanduk yang bertuliskan “Telajakan ini dikontrakkan. Hubungi HP....”. Sebuah kenyataan pahit masyarakat yang terlalu money oriented tanpa memporsikan lahan hijau sebagai keseimbangan kehidupan.
Areal depan rumah (telajakan) yang mungkin terlihat sepele ini justru sebenarnya akan membawa banyak dampak positif khususnya bagi lingkungan di Bali. Daerah resapan, kesejukan, lahan hijau hanyalah segelintir manfaat yang mampu disajikan oleh kearifan lokal (telajakan) ini. Coba bayangkan, seandainya saja semua perumahan dan bahkan bangunan di Bali menerapkan atau mengadakan konsep telajakan ini pada tata ruang bangunannya, tentu permasalahan lingkungan tidak akan sepelik dewasa ini.
Sejatinya, menurut hemat saya permasalahan lingkungan ini lebih baik kita mulai dari sebuah perubahan kecil. Mulailah dari lingkungan rumah sendiri dengan kembali memerhatikan tata ruang yang sudah diwariskan para leluhur dengan menyisakan sedikit lahan untuk penghijauan. Sebuah perubahan yang besar tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan kecil. Alam Bali ini milik kita bersama, cukuplah berkoar-koar menunjukkan beribu aksi protes mengenai semakin tergerusnya alam hijau ini. Sudah saatnya kita melakukan sebuah aksi nyata untuk benar-benar menyelamatkan alam ini. Jangan tambah masalah alam kita dengan berulah acuh tak acuh. Sebagai orang kecil, mungkin ada baiknya melakukan aksi kecil yang berujung besar nantinya. Ayo lestarikan dan hidupkan kembali telajakan kita! Sudahkah ada telajakan di area rumah kalian?
Sumber :
Majalah Bali Post Edisi 18-24 Mei
http://www.baliprov.go.id/id/Masalah-Lingkungan-Bali--Berat-dan-Sulit-Pemprov-Programkan-27-Upaya
http://teguhwijaya07.blogspot.com/2012/05/telajakan-sebagai-kearifan-lokal-di.html
Komentar