Pertengahan Tahun 2008.

Kejadian ini hampir sebelas tahun silam. Hari itu adalah hari pertama kami duduk di bangku kampus. Mata kuliah pertama pagi itu adalah “Pengantar Perpajakan”. Santer terdengar, bahwa dosen mata kuliah ini agak eksentrik. Ia adalah seorang pejabat di instansi pemerintah yang memilih untuk mengisi waktunya sebagai pendidik. Pukul sepuluh tepat, kelas beliau pun dimulai.

Para mahasiswa memandang ke depan kelas dengan takzim. Menyimak perkenalan diri, dilanjutkan dengan kisah singkat pengalaman beliau yang telah malang melintang di dunia perpajakan. Tiba-tiba, sang dosen berdiri. “Hey, Engkau,” ujarnya sambil menunjuk hidung salah seorang mahasiswa. “Coba kau terangkan, menurut kau pajak itu apa?”

Mahasiswa yang ditodong di hari pertama kuliah itu otomatis blingsatan. Keringat dingin! Cepat-cepat dibacanya kitab tebal yang tengah ia pegang. “Anu, Pak! Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara...” Terbata-bata, mahasiswa itu melanjutkan, “pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan langsung.Pajak digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Pak.”

Kelas hening. Mendengar jawaban textbook begitu, sang dosen diam dan melepas kaca mata. Kemudian ia duduk. “Bah, kaku sekali kau,” ujarnya. Para mahasiswa saling pandang. Tegang. Sang dosen kemudian terbahak-bahak, hampir terjengkang dari kursinya.  “Haha! Kutanya pajak menurut diri kau, malah kau baca pengertian pajak menurut undang-undang, di pasal satu!”

Beliau melanjutkan orasinya. “Coba kalian rasakan pakai hati. Pasal itu bilang, bahwa pajak sifatnya wajib. Terutang! Maksa! Tidak mendapat imbalan langsung pula. Bah! Seram tidak kau mendengarnya?” tanya sang dosen retoris, lebih kepada diri sendiri dibanding pada mahasiswanya. “Begitu lah definisi pajak menurut undang-undang.”

Kemudian senyum sang dosen mengembang. “Bahasa undang-undang memang harus tegas. Sekarang, coba bayangkan, kalau defisininya macem begini: pajak adalah suatu bentuk patriotisme!Wujud nyata membela tanah air dengan berkontribusi pada pembangunan negeri. Elok nian! Karena memang seelok itulah pajak!”

Para mahasiswa masih bengong. Kini, sang dosen makin bersemangat. ”Dari Dana BOS untuk adik kalian sekolah di kampung sana, biaya pembangunan Tugu Monas di Jakarta, sampai Bandara Sentani di Papua bukanlah iuran penduduk sekitar. Itu hasil gotong-royong seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke, dalam bentuk membayar pajak. Itu manfaatnya pajak,” tandasnya sambil tersenyum bangga.

 “Masalahnya, apa kita semua sudah memandang pajak seperti tadi? Atau jangan-jangan masih melihat pajak sebagai momok. Itu tugas berat, tugas kita semua,” ujar sang dosen, menutup wejangannya pagi itu.

*  *  *

Oh pajak!

Kalau mau jujur, hampir pasti kata satu ini bukanlah kata favorit sebagian besar pembaca. Terlebih bagi pengusaha! Lord Thomas Dewar, seorang pengusaha whisky abad 18 asal Skotlandia, bahkan pernah berujar, “the only thing that hurts more than paying an income tax is not having to pay an income tax.” Bayar pajak penghasilan itu menyakitkan, meski lebih sakit jadi orang tak berpenghasilan.

Tulisan kali ini bertujuan untuk memberi sudut pandang baru, bahwa pajak adalah vital bagi kita semua yang cinta Indonesia. Terlebih, bahwa pembayar pajak adalah pahlawan era baru. Tetapi, sebelum itu, tahu kah pembaca sekalian, sebagaimanaPendidikan Nasional dan Pancasila, bahwa pajak juga punya hari peringatan?

Wajar kalau belum tahu. Toh, di tahun 2019 ini Hari Pajak baru diperingati untuk kedua kalinya. Peringatan ini mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017 yang menetapkan bahwa tanggal 14 Juli 1945 diperingati sebagai Hari Pajak.

Mengapa 14 Juli 1945?

Ini erat kaitannya dengan masa menjelang proklamasi kemerdekaan. Juli 1945, bulan yang sibuk berisi persiapan kemerdekaan. Bung Karno selaku Ketua Panitia Perancang UUD melaporkan persiapan dan beberapa agenda penting yang perlu dibahas dalam sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu agendanya adalah merancang pasal-pasal Undang-Undang Dasar.

Pada tanggal itulah, Rajiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI melontarkan istilah pajak. Harus ada aturan hukumsoal pungutan negara yang sifatnya wajib. Sejak itu lah pembahasan mengenai pajak terus bergulir, bahkan pajak dirincikan sebagai sumber penerimaan negara.

 Nah, demikianlah. Akhirnya kata “pajak” muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sejak saat itu, hingga kini. Atas jasanya, nama Rajiman Wediodiningrat diabadikan sebagai nama salah satu gedung di kompleks kantor pajak.

Bagaimana Peran Pajak Kini?

Tujuh puluh empat tahun berlalu sejak proklamasi, pajak telah dan terus menjadi penopang utama pembangunan tanah air. Mengacu pada APBN 2019, penerimaan perpajakan diproyeksi sebesar 1,786,4 triliun rupiah. Sementara, total pendapatan negara diproyeksi sebesar 2.165,1 triliun. Artinya, sekitar 82% penerimaan negara bersumber dari perpajakan. Sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan hibah. Persentase yang dominan, bukan?

Cukupkah pendapatan sebesar itu? Jelas tidak! Anggaran belanja kita besarnya 2.461,1 triliun. Dibandingkan dengan belanja, pendapatan kita “minus” 296 triliun.  

Mungkin pembaca sekalian membatin, “kok besar pasak daripada tiang? Pengeluaran jangan lebih dari pendapatan donk.” Dalam skala keluarga, seorang ayah mudah saja menekan pengeluaran sang anak, agar sesuai dengan pendapatan keluarga. Namun dalam skala negara, lain ceritanya. Akankah penyelenggara negara berkata, “Maaf, adik-adik SD sekalian. Tahun ini tak ada dana BOS. Pendapatan negara hanya 2.165,1 triliun, sementara anggaran belanjanya 2.461,1 triliun. SPP kalian bayar dulu ya?"

Apapun yang terjadi, program pembangunan tak boleh terhambat, apa lagi tertunda. Tugas pemerintah lah untuk mencari sumber pembiayaan demi pembangunan. Salah satunya dengan utang luar negeri. Satu simpul didapat di sini: bila penerimaan kurang, bisa ditambal dengan utang.

Dari ilustrasi sederhana di atas, pilihan solusinya terlihat mudah. Pilih naikkan pendapatan negara melalui pajak, atau perbesar pembiayaan melalui utang. Atau dua-duanya. Tentu opsi pertama adalah favorit kita semua. Siapa yang ingin terkesan sebagai pengutang? Apalagi publik (tepatnya warganet) sangat sensitif pada isu utang luar negeri. Jadi, tinggal naikkan tarif pajak saja, toh angka pajak akan naik dan penerimaan negara jadi aman. Sederhana. Bukan begitu?

Mengapa dilakukan hal semacam penurunan tarif pajak, di saat kita butuh penerimaan negara yang lebih besar?

Penyelenggara negara mungkin mafhum. Bahwa, kualitas kesadaran dan kecintaan akan pentingnya pajak perlu digenjot jua, selain tentu usaha  untuk menggenjot kuantitas penerimaan pajak. Dengan kecilnya tarif, sederhananya cara penghitungan sampai mudahnya pembayaran, penyelenggara negara berharap kesadaran akan pentingnya pajak dapat menjangkau kesadaran masyarakat yang lebih luas. Bahwa tiap orang bisa ikut berpartisipasi dalam pembangunan negeri, dengan menjadi pembayar pajak.

Masalahnya, agar pajak bisa menjadi kesadaran komunal segenap rakyat, perlu usaha ekstra dari penyelenggara negara, terutama Direktorat Jenderal Pajak. Menanamkan citra pajak sebagai sesuatu yang mudah, perlu dan loveable tentu bukan perkara bim salabim semalam.

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Kenal saja belum menjamin bakal sayang. Apalagi tidak kenal! Angka-angka pencapaian perpajakan dalam postur anggaran APBN memang penting. Namun yang tak kalah penting adalah kesadaran kita akan pentingnya pajak. Mari berkenalan dengan pajak. Sesederhana mungkin.

Pembaca budiman tentu ada yang menjadi pengusaha atau pedagang.Ketika beranjak ke kantor pos atau bank untuk membayar pajak, bayangkanlah hal ini: Sebagian dari uang yang Anda setorkan akan terbang jauh ke pelosok negeri, membiayai sekolah seorang anak dalam wujud Bantuan Operasional Sekolah. Uang yang Anda setorkan itu juga menjelma menjadi gaji guru sang anak, dana perbaikan sekolahnya, hingga menjadi sebuah jembatan, agar anak itu pergi ke sekolah tak lagi melewati sungai yang deras.

Anak itu bisa mengenyam pendidikan berkat Anda, melalui pajak yang Anda bayar.

Bayangkan lagi.Tiap Anda membayar pajak, seorang pasien renta yang tengah didera sakit keras, bisa ringan biaya pengobatannya berkat BPJS. Premi yang ia bayar tak seberapa dibanding obat dan perawatan yang ia terima. Dari mana biaya sisanya? Salah satunya dari Anda, melalui pajak yang Anda bayar.

Jalan raya diaspal lebih mulus, renovasi pasar di kelurahan sebelah, hingga TNI dan Polri yang mendapat gajinya sehingga Anda dapat tidur nyenyak, takkan bisa terwujud tanpa Anda!

Melalui Hari Pajak di 14 Juli ini, kami, anak di pelosok negeri, orang renta di ranjang RSUD, beserta segenap rakyat mengucapkan terima kasih pada Anda, para pembayar pajak.

Tiap jaman punya pahlawannya sendiri. Saat era revolusi fisik, Indonesia memiliki Bung Karno, Hatta dan bung-bung lain yang mengambil peran merebut kemerdekaan. Di jaman ini, pembayar pajak sebenarnya adalah pahlawan itu sendiri. Berkat pembayar pajak, kemerdekaan bisa diisi, pembangunan bisa digalakkan, dan Indonesia bisa bergerak maju untuk semakin sejajar dengan negara-negara lain.

Demikianlah sekilas tentang hari pajak. Apakah perayaan ini hanya akan menjadi sebuah tanggal dengan gegap gempita, lalu menjadi angin lalu? Tugas kita lah untuk memberi makna pada tanggal itu. Penyelenggara negara melalui Direktorat Jenderal Pajak selalu berusaha untuk membuat segenap rakyat makin kenal, sadar, hingga sayang pajak. Salah satunya dengan peringatan Hari Pajak. Karena pajak adalah urat nadi pembangunan. Berkontribusi di pajak berarti ikut urun rembug, tanda ikut memilikiIndonesia bersama. Demi Indonesia yang lebih baik.

 

 

 

Sebagai penutup, ijinkan saya untuk mengutip Oliver Wendell Holmes Jr. Ia adalah hakim yang menjabat sebagai Hakim Asosiasi Pengadilan Tinggi Amerika Serikat dari 1902 sampai 1932. Kata-kata beliau tertulis di atas pintu masuk gedung Internal Revenue Service, Direktorat Jenderal Pajak-nya Amerika Serikat:

“Taxes are the price we pay for civilized society”