Gumi Kauh, Jembrana, kabupaten di ujung barat Pulau Bali kini sedang gencar dalam pembangunan pariwisata. Alam yang masih asri, pedesaan yang memiliki ciri khasnya masing-masing, serta kebudayaan yang sangat melekat pada tubuh gumi makepung ini menjadi nilai jualnya. Gencatan promosi telah diupayakan agar dunia tahu bahwa Jembrana punya keindahan yang sedemikian rupa cantiknya. Namun ada satu titik dimana saya merasa prihatin akan keindahan itu.

***

 

Pagi hari saat libur sekolah, merupakan suasana yang tepat untuk menikmati keindahan alam Jembrana sambil mengayuh sepeda. Saya memilih Kelurahan Sangkaragung sebagai spot (rute) bersepeda saya, sekaligus mencari referensi untuk tugas pembuatan video promosi wisata. Berkeliling disana sungguh menawan hati. Lingkungan yang bersih serta persawahan yang berlatarkan perbukitan di utara sungguh mempesona. Namun tak hanya itu, saya tahu Sangkaragung juga menyimpan harta yang sangat berharga. Bukan emas, intan, permata maupun baju zirah peninggalan raja, melainkan warisan kesenian budaya asli Jembrana, yakni jegog dan tenun cagcag.

Perhentian pertama saya adalah sebuah paguyuban pengembangan alat musik tetabuhan jegog, Yayasan Suar Agung Bali. Kala itu saya bertemu dengan Pekak Mangku Boksen. Beliau adalah kerabat dari Alm. I Ketut Suwentra (Pekak Jegog), sosok yang telah berjasa memperkenalkan jegog hingga ke mancanegara. Di sana saya disambut ramah oleh Pekak Mangku dan dengan senang hati beliau menjawab beberapa pertanyaan saya bahkan beliau juga mengajarkan cara memainkan jegog. Ya… walaupun saya dibilang masih kaku, ada keseruan tersendiri yang saya rasakan terutama bila ada pukulan yang meleset. Rasa gemas, geram, geregetan, membuat saya ingin mencoba terus-menerus. Sebelum beranjak, saya sempat bertanya tentang bagaimana regenerasi penabuh jegog. Beliau menjawab, ada remaja bermain jegog tetapi sudah langah (jarang), lebih sering penabuh senior yang tampil bila ada pertunjukan. “Apa pemuda yang langah itu cukup? Apakah regenerasi tersebut masih jalan di tempat? Lalu kalau sudah lelah, apakah jegog akan terhenti juga?” Itu yang saya pikirkan.

Tak jauh dari tempat sebelumnya, saya pun sampai di Kantor Lurah Sangkaragung. Di sana terdapat galeri informasi tenun cagcag. Saya mendapat informasi tentang seluk beluk tenun cagcag yang ada di Kelurahan Sangkaragung. Ternyata ada beberapa kelompok pengrajin tenun cagcag, salah satunya kelompok tenun Menuh. Untuk mengetahui lebih lanjut, saya dipersilahkan untuk mengunjungi rumah Ibu Komang Ani selaku ketua kelompok tenun Menuh. Di sana saya menjumpai sebuah galeri kain tenun dan juga beberapa alat tenun. Beruntung sekali saat itu ada seorang ibu yang tengah menenun. Beliau bernama Ni Ketut Suarni. Penasaran, saya pun bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupan beliau. Beliau menyatakan bahwa menenun merupakan pekerjaan sampingan dan profesi utama beliau adalah sebagai petani. Sama seperti kebudayaan jegog sebelumnya, saya kembali menanyakan tentang regenerasi. Dengan datar, beliau menyatakan “Asanne sing adé, Gus.” (Rasanya tidak ada, nak) Tidak ada satu pun gadis yang bisa  menenun. “Lamun adé, telepon tiang, Bu, inggih. Kal tiang gélanin.” (Kalau ada, telepun saya, ya, Bu. Mau saya pacari) Jawab saya dengan nada bercanda walau miris dalam hati. Dan itulah momen penutup sebelum akhirnya saya pulang ke rumah.

 

undefinedSumber : Dokumentasi Pribadi I Komang Triyan Ardiyana

 

Pagi itu rasa takjub akan indahnya budaya bersatu dengan rasa tak enak hati, prihatin. Salam jumpa dan selamat tinggal seakan saya ucapkan bersamaan. Keindahan dua budaya kebanggaan Jembrana ini seakan semakin redup, menunggu sisa sumbu-sumbu terakhir.  Siapa pun tak ingin kehilangan hartanya. Begitu pula saya. Saya tidak ingin jegog dan tenun cagcag punah karena tidak ada generasi penerus. Saya sadar ini bukan masalah yang sepele. Lalu, bagaimana cara menyadarkan khalayak akan masalah ini?

Apa daya, saat ini hanya gagasan serta solusi kecil yang dapat saya ungkapkan, berharap diperhatikan orang lain. Misalnya untuk jegog, mengapa tidak diadakan lomba barung (tarung) jegog antar sekolah atau sekehe truna dalam rangkaian hari ulang tahun Kabupaten Jembrana? Memang kegiatan ini sudah pernah dilaksanakan namun, rasanya belum dijuruskan untuk kategori pelajar. Bisa juga dikolaborasikan dengan musik kontemporer yang tengah anak muda sukai, pasti akan menghasilkan suasana baru dalam pementasan jegog. Dan untuk kesinambungan tenun cagcag saya rasa ada anak muda yang punya minat dalam menenun, tetapi saat ini belum ada wadah yang menampung minat tersebut. Dapat juga dimulai dari generasi penerus yang ada di keluarga penenun saat ini. Mengubah mindset serta menyadarkananak muda bahwa kini tenun cagcag tidak hanya dibuat untuk menyambung hidup melainkan menjadi tradisi yang tak boleh putus. Memang naif, tapi saya yakin dengan langkah-langkah kecil tersebut diharapkan muncul bibit-bibit pembangkit masa keemasan dari jegog dan tenun cagcag seperti dulu kala, seperti harapan kita: ajeg dan lestari.

 

***

“Bagaikan gubuk tempat menyimpan harta kebudayaan. Tiang-tiang lawas itu perlu diganti. Sudah saatnya pilar-pilar harapan baru ditegakkan. Bila tidak, harta itu akan tertimbun bila tiang itu telah rapuh.”