“Ter-teran VS Iwak Peyek”

Menangkis Teroris Bukan dengan Menangis

 

“Aksi teroris semakin bombastis. Pengeboman semakin miris. Pembunuhan semakin dinamis. Tidak saatnya kita meringis mencuatkan tangis, menangkis ISIS dengan keris, membalas tindakan anarkis dengan ilmu magis. Perang pandan di Tenganan tidak mengajarkan pembunuhan secara sadis. Perang api di Jasri bukan untuk membakar ISIS secara tragis,” papar I Wayan Gede Ardana, SIK, M.Si sembari menyunggingkan senyum asimetris (17/05).

Bali layaknya untaian “Ratna Mutu Manikam” istilah yang menggambarkan pesona Pulau Dewata bagaikan batu permata nan kaya raya. Pulau indah nan menawan bagai magnet yang menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Bahkan sebelum mengenal nama Indonesia, banyak wisatawan asing lebih dulu mengenal nama Bali. Hal inilah yang menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat Pulau Dewata.

Namun, seperti kalimat yang dilontarkan oleh I Wayan Gede Ardana, SIK, M.Si, Kapolres Karangasem, menunjukkan bahwa teroris semakin eksis dan perlahan menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. “Tahun 2014, kita dihadapkan dengan hingar-bingar ISIS. Bahkan kini, teroris semakin anarkis,” jelasnya dengan logat Karangasem yang kental. Tercuat pertanyaan sederhana di benak penulis, “bagaimana pariwisata bisa tertata jika aksi terosis semakin bombastis?”

 

undefined

Sumber : Google Image

Teroris tentu menjadi benalu negatif bagi daerah-daerah yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, jumlah kunjungan wisatawan menurun 44,7% setiap tahunnya yang disebabkan oleh aksi teroris. Tidak dapat dipungkiri bahwa di tahun 2014, kita dihebohkan dengan beredarnya sebuah video di media sosial, seorang warga Negara Indonesia (WNI) yang mengaku bernama Abu Muhammad al Indonesi mengajak penduduk Islam Indonesia untuk ikut memperjuangkan berdirinya negara radikalis dengan bergabung di pergerakannya. Iming-iming menggiurkan, seperti memberi pekerjaan dengan gaji tinggi, menjanjikan jaminan kesehatan, mengirimkan dana ke Indonesia, penawaran budak seks, dan dilayani wanita cantik, hanyalah propaganda ISIS. Mengingat pada saat itu, masyarakat Indonesia tengah krisis secara ekonomi sehingga menjadi celah bagi kelompok radikal ISIS untuk menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, khusunya merombak Pancasila.

Di tahun 2018, aksi teroris kembali hadir melalui tindakan yang lebih anarkis. Kita dapat brercermin dari tindakan pengeboman di tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya beberapa waktu lalu. Tidak hanya meluluhlantahkan Kota Surabaya, aksi teror juga digencarkan di Riau. Di mana, belasan orang meninggal dunia dan puluhan jiwa luka-luka. Mereka adalah korban dari kekejian teroris.

Apa yang mesti dibenahi?

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), disebutkan bahwa pelaku teroris terbesar adalah generasi muda berpendidikan SMA, yakni 63,3%, mahasiswa perguruan tinggi 16,4%, dan selebihnya adalah siswa SMP (Purnami, 2013:211). Dengan kata lain, generasi muda adalah akar dari permasalahan teroris. Mereka yang tergabung dalam kelompok radikalis dan menggencarkan aksi-aksi anarkis adalah generasi muda yang lemah rasa cinta tanah air dan kebangsaannya. Generasi yang demikian adalah generasi Iwak Peyek.

Generasi Iwak Peyek yaitu sebuah metafora bagi generasi yang kepribadiannya seperti rempeyek (tampilannya terlihat renyah, lezat, yummy, dan menggoda). Namun, sejatinya sangat mudah hancur, tidak renyah (ngales), dan melempem. Sebagai jenis makanan, Iwak Peyek adalah makanan yang lezat dan menggiurkan, tetapi justru menjadi penyakit bagi tubuh manusia. Generasi Iwak Peyek adalah generasi trendi dan terlihat modern, tetapi justru adalah penyakit bagi bangsa. Generasi Iwak Peyek adalah generasi plagiator; mudah ikut-ikutan (milu-milu tuwung) dan lemah motivasi dalam berkarya. Generasi Iwak Peyek adalah generasi pragmatis, yaitu hanya mementingkan materi semata, tanpa mau berjuang untuk mendapatkannya. Generasi Iwak Peyek adalah generasi angkuh, yang ingin selalu dianggap hebat, tetapi tak pernah berproses untuk meraihnya.

Terorisme adalah paham yang mengedepankan penyebaran rasa takut dalam upaya mencapai suatu yang diinginkan. Generasi Iwak Peyek adalah sasaran empuk bagi paham yang demikian. Sebab, penganut terorisme selalu menjanjikan kemudahan dan kemewahan hidup bagi seseorang yang mau bergabung. Penganut terorisme selalu menjanjikan kemasyuran-kemasyuran bagi mereka yang mau menjadi objek pelaksana. Tentu, generasi Iwak Peyek—yang lemah pemahaman kebangsaannya, yang tergerus rasa nasionalismenya, yang tipis karakternya, yang sempit pengetahuan agamanya—tidak dapat menolak itu.

        Dengan kata lain, hal utama yang mesti dibenahi adalah generasi muda, khususnya generasi Iwak Peyek. Menanamkan kembali nilai-nilai kebangsaan dan pendidikan karakter pada generasi muda adalah aksi nyata yang dapat ditempuh.

Ter-teran VS Iwak Peyek di Tengah Geliat Pariwisata

      “Kita adalah negara yang pancasilais, bukan komunis, apalagi radikalis. Usaha yang humanis dan pengentasan secara kulturalis adalah misi strategis menghalau teroris,” kekeh I Gede Ardana, S.IK, M.Si. Kalimat tersebut menyiratkan makna bahwa pendekatan kemanusiaan melalui warisan kebudayaan adalah salah satu cara mengatasi teroris yang disebabkan oleh generasi muda.

 undefinedundefined

Sumber : Google Image

Desa Jasri adalah salah satu desa wisata di Kabupaten Karangasem yang sangat eksis dengan warisan kebudayaannya meskipun aksi anarkis teroris semakin sadis. Warisan kebudayaan itu dikenal dengan sebutan Ter-teran.

Ter-teran merupakan warisan budaya yang dijuluki sebagai aset krusial Desa Wisata Jasri, Kabupaten Karangasem. Ter-teran berasal dari kata ter-tin yang artinya lempar dengan sarana api yang berbentuk bobok atau obor yang terbuat dari seikat daun kelapa kering (danyuh) dan diikat menyerupai pentungan. Ter-teran adalah tradisi Perang Api yang dilaksanakan dua tahun sekali pada hari raya Tilem Kasanga dengan melibatkan dua kelompok. Uniknya, pemain yang mengalami kecelakaan, baik karena jatuh terpeleset maupun kulitnya mengalami luka bakar, mereka takperlu khawatir karena luka akan berangsur-angsur sembuh hanya dengan diperciki tirta (air suci) yang dimohonkan kehadapan Ida Bhatara di Pura Bale Agung.

Secara historis, asal-usul Ter-teran dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan di mana warga Desa Jasri membayangkan wujud dari dunia gaib yang dikonsepkan dalam sistem kepercayaan sehingga memunculkan pemikirian yang menganggap dunia supranatural tersebut menyebabkan marabahaya. Berdasarkan paruman (rapat desa) pada tahun 1791, diperoleh kesepakatan untuk mengadakan suatu ritual di malam tilem kasanga guna menghalau marabahaya dan menggunakan api sebagai lambang Dewa Brahma (Purnami, 2013:141). Api juga bermakna sebagai saksi bahwa Desa Jasri telah berupaya mengatasi gangguan-gangguan niskala. Tradisi ini hingga kini semakin lestari dan menjadi fondasi eksistensi Desa Jasri sebagai desa wisata. Bahkan, Desa Jasri mendapatkan penghargaan dari Kemeterian Pariwisata RI sebagai Desa Wisata Terbaik di Indonesia tahun 2013 yang mengalahkan 137 desa wisata lainnya (Asdhiana, 2013).

Ter-teran diawali dengan upacara pacuruan untuk menetralisir kekuatan negatif dan mengusir bhuta kala, kemudian dilanjutkan dengan ditanamkan konsep manyama braya. Konsep manyama braya dalam tradisi Perang Api di Desa Wisata Jasri memiliki fungsi sosial yang menganggap semua pemainnya adalah saudara sehingga tidak ada mata persaingan di antara mereka. Pemainnya melakukan tradisi ini dengan penuh semangat, nasionalisme, dan religius. Mereka dituntut untuk mampu meredam emosi dan mengendalikan api kemarahan yang selama ini bersemayam dalam diri remaja. Di samping itu, penanaman menyama braya difokuskan pada generasi muda yang berusia 15-30 tahun melalui penayangan video nasionalisme. Umumnya, video yang ditayangkan pada remaja adalah video yang menyangkut tentang perjuangan Kerajaan Karangasem dalam mempertahankan wilayahnya atau cuplikan film, seperti Film Habibie Ainun, Jendral Sudirman, Soekarno, hingga video-video sakral yang dapat memacu alam bawah sadar dan hati remaja.

Ary Ginanjar mengatakan bahwa hati mengaktifkan alam bawah sadar yang paling dalam dan mengubahnya dari sesuatu yang kita pikirkan menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati adalah sumber energi dan perasaan dasar yang yang menuntut kita belajar, menciptakan kerja sama, memimpin, dan melayani. Ary Ginanjar juga menegaskan bahwa hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan diperbuat. Artinya, setiap manusia sesungguhnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbing alam bawah sadar. Sejalan dengan itu, Gede Prama juga mengungkapkan bahwa alam bawah sadar adalah gudang berkumpulnya prana (tenaga hidup), seperti emosi, tekanan, dan kepekaan. Dengan terkendalinya alam bawah sadar, maka terkendali pula prana dalam jiwa manusia.

Melalui Ter-teran yang menayangkan video perjuangan dengan tema nasionalisme, jika disaksikan oleh remaja, alam bawah sadar remaja akan merekam bagaimana sulitnya berjuang mempertahankan Tanah Karangasem, bahkan perlu waktu sampai ratusan tahun. Saat alam bawah sadar bekerja, maka akan terjadi perubahan emosional dalam diri remaja (Ary Ginanjar, 2016 : 187). Remaja akan menghargai perjuangan pahlawan dan tidak akan dengan mudah untuk merusak tanah kelahirannya, khususnya bangsa dan negara. Remaja akan berpikir berkali-kali untuk menghancurkan bangsa yang telah dibangun dengan susah payah dengan melakukan aksi teror dan tergabung di kelompok radikalis.

Sebagai warisan leluhur yang berbasis pendidikan, Ter-teran dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan dalam memerangi generasi Iwak Peyek yang merupakan pelopor aksi terorisme. Ditinjau dari segi filosofinya, Ter-teran identik dengan melempar api yang berarti melempar kemarahan atau menghilangkan emosi. Kemarahan adalah perasaan dasar penyebab munculnya sikap teoris.Takhanya itu, Ter-teran juga akan membangun karakter (character building), meningkatkan jiwa nasionalisme remaja, serta menanamkan konsep menyama braya sejak dini melalui media audiovisual (video) yang ditayangkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ter-teran dapat membinasakan moral generasi Iwak Peyek di tengah maraknya ingar-bingar teroris.

Mencermati begitu besarnya peran Ter-teran bagi Bangsa Indonesia, khsususnya Desa Wisata Jasri, maka sudah seyogianya generasi muda termotivasi dan tergugah jiwanya untuk terus aktif mengikuti dan melestarikan kearifan lokal berbasis pendidikan karakter semacam ini. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Ir. Soekarno, “Kita belum hidup dalam sinar bulan Purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah semangat Elang Rajawali.” Untuk itulah, kita sebagai generasi muda laksana Elang Rajawali agar senantiasa memacu semangat dalam mengoptimalkan sarana pendidikan karakter seperti Ter-teran. Sehingga, kita dapat menggaungkan keindahan Indonesia ke kancah dunia, bukan malah menghancurkan bangsa dengan terlibat melakukan aksi anarkis seperti teoris. Bahkan, kita dapat mengundang wisatawan untuk untuk berkunjung ke destinasi wisata terbaik Indonesia, seperti Desa Jasri yang tersohor dengan tradisi Perang Api.

 

Referensi :

Asdhiana, I Made. 2013. Desa Pakraman Jasri, Desa Wisata Terbaik 2013. Tersedia di : https://travel.kompas.com/read/2013  /12/05/1510470/Desa.Pekraman.Jasri.Desa.Wisata.Terbaik.2013. [Diakses tanggal : 21 Mei 2018]

Ginanjar, Ary. 2016. ESQ Parenting dalam Pendidikan. Surabaya : PT. Widya Sabha

Purnami, Putu. 2013. Indonesia Darurat Terorisme, Pancasila di Bawa ke Mana?.

            Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.