Zimbabwe pernah dikenal sebagai salah satu negara paling menjanjikan di benua Afrika. Setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1980, negara ini menunjukkan geliat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumber daya alam yang melimpah serta sektor industri yang berkembang menjadikan Zimbabwe simbol harapan baru bagi kawasan Afrika. Sayangnya, harapan itu tidak diiringi dengan manajemen pemerintahan dan ekonomi yang baik.
Kondisi ekonomi Zimbabwe mulai memburuk ketika Presiden Robert Mugabe meluncurkan kebijakan reformasi agraria secara radikal. Lahan pertanian produktif milik petani kulit putih diambil alih paksa dan diberikan kepada masyarakat kulit hitam yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman dan keterampilan bertani. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, kebijakan ini justru menyebabkan keruntuhan produksi pangan nasional dan menurunnya pendapatan negara dari sektor pertanian.
Situasi semakin memburuk akibat tingginya tingkat korupsi di tubuh pemerintahan. Pengeluaran negara melonjak drastis, terutama karena keterlibatan militer Zimbabwe dalam Perang Kongo serta kebijakan populis untuk menaikkan dana pensiun veteran perang. Ketika pendapatan negara tidak mampu menutupi beban belanja tersebut, pemerintah mengambil jalan pintas yang sangat berisiko: mencetak uang dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Keputusan mencetak uang secara masif tanpa dukungan produktivitas ekonomi menyebabkan Zimbabwe mengalami hiperinflasi parah. Puncaknya terjadi pada November 2008, ketika tingkat inflasi bulanan tercatat mencapai 79,6 miliar persen. Nilai mata uang Zimbabwe runtuh total. Harga barang melonjak berkali-kali lipat dalam hitungan hari, bahkan jam. Uang triliunan dolar Zimbabwe pada saat itu tak lagi cukup untuk membeli kebutuhan dasar seperti sepotong roti.
Setelah mengalami kehancuran ekonomi terbesar dalam sejarah modern, Zimbabwe mencoba berbagai langkah pemulihan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan redenominasi mata uang dan menggunakan mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat, sebagai alat transaksi resmi. Langkah ini sempat menstabilkan pasar, namun belum mampu mengatasi akar masalah struktural di tubuh perekonomian negara.
Kini, pada tahun 2025, Zimbabwe memang tidak lagi mengalami hiperinflasi sebesar tahun 2008. Namun, angka inflasi yang masih berada di level 57,5% tetap menunjukkan bahwa negara ini belum benar-benar pulih. Tingkat inflasi tersebut masih tergolong sangat tinggi dan terus menggerus daya beli masyarakat serta mencerminkan ketidakstabilan ekonomi yang kronis.
Kisah Zimbabwe adalah contoh nyata bagaimana kebijakan populis yang tidak direncanakan matang, ditambah korupsi dan salah kelola sumber daya, bisa menghancurkan potensi besar sebuah negara. Dari negara yang dulu dianggap sebagai permata Afrika, Zimbabwe kini menjadi peringatan bagi dunia: bahwa kestabilan ekonomi bukan hanya soal kekayaan alam, tetapi juga soal kepemimpinan yang bijak dan pengelolaan yang transparan.
Komentar